Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah ‘Azza wa Jallatampakkan tersebut. Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.
Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, ialah terjadinya gerhana. Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia. Padahal RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam justru memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan segera menegakkan shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih tatkala terjadi peristiwa gerhana. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)
PENGERTIAN GERHANA
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusûfsemakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalah gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. [1] Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.
HUKUM SHALAT GERHANA
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullahmenegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. [2]
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah. [3] Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (jika kalian melihat, maka shalatlah—muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallamberkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka. Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya. Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah. [4]
Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, “Jika kita mengatakan hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah.”
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.
Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. [5] Dalil mereka:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali.”(Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik. [6] Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan). [7]
Sebagaimana di dalam hadits disebutkan, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata, “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namun pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga, dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.” [8]
WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang.” (Muttafaqun ‘alaihi).
KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) saat terbit matahari. [9]
AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA
- Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)Jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
- Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri)
- Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri)
TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam…”(Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:
“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i)
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad. [10]
Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata, [11] “Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
- Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al-Baqarah.
- Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
- Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allhu liman hamidah.
- Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
- Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
- Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
- Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
- Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.
Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga bermanfaat.
There was not one incident among many events that Allaah revealed in the presence of His servants, but so that we can take the lessons and wisdom of the power that Allah Almighty is putting out. Which in the end, we are required to always introspective and do muhasabah.
Among the evidence of the power of Allah Subhanahu wa Ta'ala, it is the eclipse. A big event that a lot of people underestimated. In fact, the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam warned his people to return it and immediately enforce remember praying, reproduce dhikr, seek forgiveness, prayer, charity, and good deeds when there eclipse events. Described by the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam in his saying:
"Verily the sun and the moon are proof of God's signs. Surely they do not eclipse because of the death of one's experience, and also because of his person. Therefore, if you see it, then pray to God, bertakbirlah, prayer and bersedekahlah. "(Agreed upon)
DEFINITIONS eclipse
In terms of jurists called kusûf. That loss of sunlight or moon or missing part, and that leads to changes in light or dark black. Kusûf khusûf sentence to convey the same. There is also a saying kusûf is a solar eclipse, a lunar eclipse while khusûf is. Sorting is more famous by language. [1] Thus, the eclipse prayer, prayer is done with the procedure and certain movements, when the light of the sun or moon is lost or missing part.
LEGAL prayer for eclipse
Jumhur scholars' opinion, the eclipse prayer sunnah muakkadah law. Abu 'Awaanah rahimahullah solar eclipse confirms the necessity of prayer. Similarly, a history of Abu Hanifah rahimahullah, he has the same opinion. Narrated by Imam Malik, that he put as Friday prayers. Similarly, Ibn Qudama rahimahullah argues that legal sunnah prayers muakkadah eclipse. [2]
The more powerful, is the proposition shall, on the orders coming from the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam. Imam ash-Syaukani also corroborate this opinion. Similarly Siddiq Hasan Khan rahimahullah and Shaykh al-Albani rahimahullah. [3] And Shaykh Muhammad ibn Saalih 'Uthaymeen rahimahullah said: "Some scholars have argued, the eclipse prayer is obligatory, because the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam (if you look, the Pray-Agreed alaih).
Indeed, the eclipse is a frightening event. The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam preaching a great sermon, explaining about heaven and hell. All that being the reason the necessity of the case, even if we say legal Sunnah when we see a lot of people who left, while the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam was very stressed about this incident, then there is no sin at all when other people began to dare to leave. Thus, this argument needs to be traced back, how to say something scary then we purposely left it? Even as just a normal occurrence? Where is the fear?
Thus, the proposition shall, have a very strong argument. So if there are people who see a solar eclipse or a moon, then it does not matter at all, each busy with his wares, each preoccupied with vain, busy in the fields, and all the concern that it was the cause of the decline Allaah, we ordered for mewaspdainya. So the suggestion is required to have a stronger argument than saying sunnah. [4]
And ash-Shaykh Ibn Al-'Uthaymeen also stated, "If we say is obligatory, then the apparent necessity is mandatory kifayah."
The lunar eclipse prayers, there are two different opinions of the scholars.
The first opinion. Muakkadah Sunnah, and performed prayers in congregation as well as a solar eclipse. So is the opinion of Imam Shafi'i, Ahmad, Dawud Ibn Hazm. And opinions of matching is also coming from the 'Atha, Hasan, an-Nakha `i, Ishaq and history of Ibn' Abbas Radhiallahu'anhu. [5] their argument:
"Verily the sun and the moon are proof of God's signs. Indeed, they do not eclipse because of the death of a person experienced, nor because of his person. Therefore, if you see it, then pray to God and Pray to light again. "(Muttafqun 'alaihi).
Second opinion. Not performed in congregation. So is the opinion of Imam Abu Hanifa and Malik. [6] The evidence, that in general, the implementation of the lunar eclipse prayers at night harder than in practice during the day. Meanwhile, there has been no history that says that the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam fulfilled the congregation, whereas lunar eclipses more frequent occurrence of the incident solar eclipse.
Which strong opinions? In this case, is the first opinion, because the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam commanded Muslims to fulfill them without any exception from each other (solar and lunar eclipses). [7]
As mentioned in the hadith, "So the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam out to the mosque, then he stood up, then bertakbir and friends stood in rows in belakangya." (Agreed upon)
Ibn Qudama rahimahullah also said, "The Sunnah is taught, is the eclipse pray in congregation in the mosque, as was done by the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam, although it may also be done on their own, but the implementation of the congregation more Afdhal (better ). Because of that the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam was the congregation. So, therefore, the sunnah is fulfilled taught in mosques. "[8]
Eclipse prayer time
Prayer starts from the beginning until the eclipse of the sun or moon eclipse ends. Based on the words of the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam, "Therefore, if you see it, then pray to God and Pray to re-light." (Agreed upon).
After the eclipse CONSIDERED WHEN?
Solar eclipse prayer is not fulfilled if the two cases have emerged, namely (1) the light as before, and (2) eclipse occurs when the sun goes down. Similarly, the lunar eclipse prayers, not fulfilled if the two cases have emerged, namely (1) the light as before, and (2) when the sun rises. [9]
Practice HAPPENS WHEN TREATED eclipse
Increase the dhikr, seek forgiveness, Takbir, charity and good deeds. As the words of the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam, "Therefore, if kaliannya see, then pray to God, bertakbirlah, prayer and bersedekahlah." (Agreed upon)
Out to the mosque to pray in congregation eclipse, as mentioned in the hadith, "So the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam out to the mosque, then he stood up, then bertakbir and friends stood in rows behind him." (Agreed upon)
The woman came out to participate pray eclipse, as in the hadith Asma 'bint Abu Bakr Radhiallahu'anhuma said, "I came to' Aisha the wife of Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam when a solar eclipse. I saw people standing pray, as' Aa'ishah I saw him pray. "(Agreed upon)
If you feared would happen slander, it should eclipse the women's prayer alone in their homes by the generality orders eclipse prayer.
Prayer eclipse (sun and moon) without prayer and iqamah, but are summoned to prayer on the night and day with the words "ash-shalâtu jâmi'ah" (prayer to be established), as mentioned in the hadeeth of 'Abdullah bin' Amr Radhiallahu'anhuma, he said: When a solar eclipse at the time of the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam called "ash-shalatu jâmi'ah" (actually praying to be established). (Bukhari)
Sermon after the prayers, as mentioned in the hadith, 'Aishah Radhiallahu'anha said: Verily the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam, when the prayers, he stood facing the people and preaching. (Bukhari)
PROCEDURE prayer for eclipse
There was no difference among the scholars, that the two raka'at eclipse prayer. Only, the scholars differ in terms of their implementation procedures. In this issue there are two different opinions.
The first opinion. Imam Malik, Shafi'i, and Ahmad, they argue that the eclipse prayer is two raka'at. At any time there are two stand raka'at, twice read, two bowing and two prostrations. This opinion is based on several hadith, including the hadeeth of Ibn 'Abbas Radhiallahu'anhu, he said, "There was a solar eclipse at the time of the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam, then his prayers and those prayers come with him. He stood very long (as) read the letter al-Baqarah, then bowing and very long ruku'nya, standing, standing for a long time, but the establishment of a second shorter than the first standing, then bowing, long time however ruku'nya bowing second shorter than bowing first. "(Agreed upon).
The second hadith, from 'Aisha Radhiallahu'anha, he said, "Behold, the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam ever praying when a solar eclipse. Prophet stood up then bertakbir then read, very long recitation, then bowing and length once ruku'nya, then raised his head (i'tidal) while saying: "Sami'allahu liman hamidah," and then standing up as the first, then read, very long reading, but reading the second shorter than the first reading, then bowing and ruku'nya very long, but shorter than bowing first, then prostrate, very long prostration, then he did in the second raka'at sebagimana performed on the first raka'at, then greeting ... "(Agreed upon).
Second opinion. Abu Hanifa found eclipse prayer is two raka'at, and every raka'at one standing, one bowing and two prostrations as well as other sunnah prayers. Theorem mentioned Abu Hanifa and matching with it, is the hadeeth of Abu Bakrah, he said:
"Once a solar eclipse at the time of the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam, the Prophet came out of his house, dragging her shawl until finally arriving at the mosque. People had come to do what it does, then the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam two raka'at pray with them. "(Bukhari, an-Nasa'i)
From the above opinion, a strong opinion is the first opinion (jumhur ulama '), based on some authentic hadith that explains it. Because of the Abu Hanifa rahimahullah and those who agree with him, they mentioned a history of absolute (general), while the history of the arguments made by jumhur (majority) of scholars is muqayyad. [10]
Shaykh al-Albani rahimahullah said, [11] "In short, the issue of how to correct the eclipse prayer is two raka'at, that there are two on each raka'at bowing, as narrated by a group of companions of the Prophet sallallaahu 'alaihi wa Sallam with authentic history ". Allaah knows best.
Summary of procedures following the eclipse prayer.
Bertakbir, read prayers iftitah, ta'awudz, reading Al-Fatiha, and read long letters, such as al-Baqarah.
Bowing with bowing long.
Rising from bowing (i'tidal) while saying: sami'allhu liman hamidah.
Do not bow down (after rising from ruku '), but reads the letter al-Fatihah and letters lighter than the first.
Then bowing again bowing long, it's just lighter than bowing to the first.
Rising from bowing (i'tidal) while saying: sami'allahu liman hamidah.
Then prostrating, sitting between the two prostrations, then prostrate again.
Then stand to raka'at second, and then do as the first raka'at.
So in brief explanation of the eclipse prayer, may be useful.
No comments:
Post a Comment