Sunday, 11 November 2012

Sholat Ied (Ied Prayer)


Hukum Shalat ‘Ied
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“[2]
Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.


Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.
Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]
Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]
Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]
Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“[9]
An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]
Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied
Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]
Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]
Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]
Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]
Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]
Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:
[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]
[2] Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]
Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.[19]
Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]
Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“[21]
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[22]
Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“[23]
Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied
Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]
Tata Cara Shalat ‘Ied
Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]
Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]
Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]
Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).
Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
Khutbah Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]
Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]
Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]
Ucapan Selamat Hari Raya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya“. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”
Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Bila hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair.
Dalil dari hal ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”[36]
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]


























Law of Prayer 'Eed
According to the stronger opinion, legal Salaah is obligatory for every Muslim, whether male or female in a state mukim [1]. The definition of this is the hadeeth of Umm 'Athiyah, he said,

أمرنا - تعنى النبى - صلى الله عليه وسلم - أن نخرج فى العيدين العواتق وذوات الخدور وأمر الحيض أن يعتزلن مصلى المسلمين.

"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam commanded us during Salaah (Eid ul-Fitr or Eid al-Adha) to issue the girls (new beanjak adult) and female seclusion, as well as women who are menstruation. But he ordered the menstruation for women who are away from the prayer. "[2]
Among the reasons obligatory Salaah raised by Hasan Shidiq Khon (Asy students Syaukani). [3]
First: The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam continue to do.
Secondly: The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam commanding the Muslims to leave the house to perform Salaah. The command to exit the show command to perform Salaah itself for those who do not have udzur. It says out of the house is mandatory for wasilah (path) to pray. If wasilahnya be required, then the goal (ie the prayer) must also automatic.
Third: There are commands in the Qur'an that indicate mandatory Salaah is the word of Allah Ta'ala,
فصل لربك وانحر
"Build prayers and berqurbanlah (an Nahr)." (Qur'an Kautsar: 2). The purpose of this verse is a command to perform Salaah.
Fourth: Friday prayers to fall for someone who has performed Salaah when the two met on the day of prayer is festive. And something that should only be terminated by a mandatory anyway. If it is obligatory Friday prayers, as well as Salaah. Thus the explanation Shidiq-Hasan-Khon that we extracted.
Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah rahimahullah said, "The opinion which states that the laws of Salaah is obligatory for every Muslim is stronger than the claim that the law is kifayah fard (obligatory for some people anyway). As for the argument that the law Salaah is Sunnah (recommended, not compulsory), this is a weak opinion. Because the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam himself ordered to perform this prayer. Then he himself and his khulafaur rosyidin (Abu Bakr, 'Umar,' Uthman and 'Ali,-pen), as well as the Muslims after they continuously perform Salaah. And not known at all if it's in a Muslim country that left no Salaah. Salaah is one of the largest Islamic syi'ar. ... Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam did not provide relief for women to leave Salaah, then how else with men? "[4]
Implementation Time Prayer 'Eed
According to the majority of scholars Hanafiyah, and Hambali Malikiyah-, time Salaah starts from sun tall spear [5] until the time zawal (sun shifted to the west). [6]
Ibn al-Qayyim said, "The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam used mengakhirkan pray' Eid prayer and accelerate the implementation of 'Eid al-Adha. Ibn 'Umar was known example of the teachings of the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam was not out to the field but until the sun rises. "[7]
The purpose why pray 'Eid al-Adha done early is so that people can immediately slaughtered qurbannya. While praying 'Eid somewhat delayed intended that the Muslims still have a chance to pay zakat ul-Fitr. [8]
Place of Execution Prayer 'Eed
Place of implementation Salaah more mainstream (more afdhol) conducted in a field, unless there udzur like rain. Abu Sa'id Al-Khudri said,
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى
"Shallalahu Prophet 'alaihi wa sallam used to go out on the feast of' Eid al-Fitr and 'Eid al-Adha toward the clearing." [9]
An Nawawi said, "The hadeeth of Abu Sa'eed Al Khudri above is the justification for those who advocate that Salaah should be done in this field and more afdhol (more important) than doing it in the mosque. This is what is practiced by Muslims in various countries. The inhabitants of Mecca, since the past Salaah they have always done in the Haram. "[10]
Carry out guidance when Interlocking Prayer 'Eed
First: It is advisable to take a shower before leaving for prayer. Ibn al-Qayyim said, "There is an authentic history which tells us that Ibn 'Umar who was known to be modeled on the teachings of the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam usual shower on the day 'ied before leaving for prayer." [11]
Second: Fancy yourself and wear the best clothes. Ibn al-Qayyim said, "The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam used to go out when praying' Eid ul-Fitr and 'Eid al-Adha with the best clothes." [12]
Third: Eat before exiting towards Salaah specifically to pray 'Eid ul-Fitr.
From 'Abdullah bin Buraidah, from his father, he said,
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لا يغدو يوم الفطر حتى يأكل ولا يأكل يوم الأضحى حتى يرجع فيأكل من أضحيته
"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam usually go Salaah on the day of Eid ul-Fitr and he ate first. Meanwhile, on the day of Eid al-Adha, he does not eat first but after returning from Salaah new qurbannya he ate the results. "[13]
Lessons are encouraged to eat before leaving for Eid ul-Fitr prayer is not to be presumed that the day is still a day of fasting. As for the Eid prayer is recommended not to eat first is that qurban meat could soon be slaughtered and enjoyed after Salaah. [14]
Fourth: Bertakbir when the exit was about Salaah. In a history mentioned,
كان صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر فيكبر حتى يأتي المصلى وحتى يقضي الصلاة فإذا قضى الصلاة; قطع التكبير
"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam used to go out going to pray at the feast of' Eid ul-Fitr, then he bertakbir up on the field, and to pray to be carried on. When the prayer was about to be implemented, he quit bertakbir. "[15]
From Ibn 'Umar, he said, "the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam never leave Salaah (Eid ul-Fitr and Eid al-Adha) with Al Fadl ibn 'Abbas,' Abdullah bin'Abbas, 'Ali, Ja'far, al-Hasan, Al-Hussain, Usama bin Zaid, Zaid ibn Haritha, and Ayman bin Umm Ayman, they raised voice reading tahlil (laa ilaha illallah) and Takbeer (Allahu Akbar) ". [16]
Procedures Takbeer when leaving Salaah to the field:
[1] disyari'atkan committed by any person with menjahrkan (harden) takbir reading. It is based on the agreement of four clerical schools. [17]
[2] Among lafazh takbir is,
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
"Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil Hamd (Allah is the Greatest, Allah is the Greatest, there is no god worthy of worship except Allah correctly, God is great, God is great, all praise be to him) "Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah said that this lafazh quoted from many friends, and some history of the state that this lafazh marfu 'ie to the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam. [18]
Shaykh al-Islam also explained that if someone is saying "Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar", it is also allowed. [19]
Fifth: Telling women and children to leave Salaah. The evidence, as stated in the hadeeth of Umm 'Athiyah we've mentioned. However, women should consider the adab-adab when out of the house, which is not decorated themselves and do not wear fragrance-Haruman.
As for the argument about the child, Ibn 'Abbas, who at the time was little-was asked, "Did you ever attend Salaah with the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam?" He replied,
نعم, ولولا مكانى من الصغر ما شهدته
"Yeah, I attend. Were it not for my position that includes junior friends, of course I will not attend. "[20]
Sixth: Passing the road going to and different. Jabir, he said,
كان النبى - صلى الله عليه وسلم - إذا كان يوم عيد خالف الطريق
"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam when Salaah, his via a different path when he set out and go home." [21]
Seventh: It is recommended to walk to the place of prayer, and not a vehicle unless there is intent. From Ibn 'Umar, he said,
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يخرج إلى العيد ماشيا ويرجع ماشيا.
"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam usually go Salaah on foot, as well as home on foot." [22]
No Sunnah prayer Qobliyah 'Eed and Ba'diyah' Eed
From Ibn 'Abbas, he said,
أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - خرج يوم أضحى أو فطر فصلى ركعتين لم يصل قبلها ولا بعدها
"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam never go out on the day of Eid al-Adha or Eid ul-Fitr, and he worked Salaah two raka'at, but he did not pray ba'diyah qobliyah and festive." [23]
Not Iqomah When the Adhan and Prayer 'Eed
From Jabir ibn Samuroh, he said,
صليت مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم - العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة.
"I never perform Salaah (Eid ul-Fitr and Eid al-Adha) with the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam and not just once or twice, when there was no prayer or iqomah." [24]
Ibn al-Qayyim said, "When the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam came to the place of prayer, he also worked Salaah without prayer and iqomah. Also when it's for no greeting pilgrims called "Ash Sholaatul Jaam'iah." Which includes the teachings of the Prophet is not doing things like that. "[25]
Procedures Prayer 'Eed
Number raka'at Eid ul-Fitr prayer and Eid al-Adha are two raka'at. As of procedures is as follows. [26]
First: Start with takbiratul ihrom, as the prayers others.
Second: Then bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) seven times magnification takbiratul ihrom-than-before starting to read Al Fatihah. Should raise their hands when the Takbir Takbir-as exemplified by Ibn 'Umar. Ibn al-Qayyim said, "Ibn 'Umar who was known to imitate the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam used his hand in every takbir." [27]
Third: Among Takbeer-Takbeer (Takbeer zawa-id) that there was no particular dhikr reading. But there is a history of Ibn Mas'ud, he says, "In between each takbeer, let lauds and praises God." [28] Shaykh al-Islam said that some of the Salaf in between each takbeer in reading,
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر. اللهم اغفر لي وارحمني
"Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Most holy God, all praise to Him, there is no true god to be worshiped but Allah. 'God, have mercy on me, and I rahmatilah). "But remember once again, reading is not limited to reading only. It may also read other literature provided that it contains the praise of Allah Ta'ala.
Fourth: Then read Al Fatihah, followed by reading the others. Letters were read by the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam was Qaaf on raka'at first letter and the letter of Al Qomar on raka'at second. There is a history that 'Umar ibn al-Khattab had asked Waqid Al Laitsiy about what the letter read by the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam when praying 'Eid al-Adha and' Eid ul-Fitr. He replied,
كان يقرأ فيهما ب (ق والقرآن المجيد) و (اقتربت الساعة وانشق القمر)
"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam used to read" Qaf, wal qur'anil majiid "(letter Qaf) and" Iqtarobatis saa'atu syaqqol Qomar wan "(Surat al Qomar)." [29]
It may also read surat Al A'laa the first raka'at and Surat al Ghosiyah on raka'at second. And if the day festive fall on Friday, were also encouraged to read the letter Al A'laa the first raka'at and Surat al Ghosiyah on raka'at second, the Salaah and Friday prayers. An Nu'man ibn Bashir of the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam said,

كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقرأ فى العيدين وفى الجمعة ب (سبح اسم ربك الأعلى) و (هل أتاك حديث الغاشية) قال وإذا اجتمع العيد والجمعة فى يوم واحد يقرأ بهما أيضا فى الصلاتين.

"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam used to read in Salaah and Friday prayers" Sabbihisma robbikal a'la "(Surat al A'laa) and" It haditsul ghosiyah Ataka "(Surat al Ghosiyah)." An-Numan bin Bashir said as well as the day festive coincides with Friday, he read the second letter in each prayer. [30]
Fifth: After reading the letter, then do the usual prayer movement (bowing, i'tidal, prostration, etc.).
Sixth: Bertakbir when it got to do raka'at second.
Seventh: Then bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) five times-apart Takbir Takbir rise from prostrating before starting to read Al-Fatihah.
Eighth: Then recite Surat al-Fatiha and another letter as mentioned above.
Ninth: Doing more movement up greeting.
After prayer sermon 'Eed
From Ibn 'Umar, he said,
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وأبو بكر وعمر - رضى الله عنهما - يصلون العيدين قبل الخطبة
"The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam and Abu Bakr, as did' Umar used to perform Salaah before the sermon." [31]
After implementing Salaah, the priest stands to implement sermon 'all ied the khutbah (sermon not twice as Friday). [32] The Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam implement the sermon on the ground and without using the stand. [33] He started the sermon with "hamdalah" (greeting thank God) as his sermons were others.
Ibn al-Qayyim said, "And is not known in any one hadith states that the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam opening sermon' iednya with takbir reading. ... But he did often say Takbir in the middle of the sermon. However, this does not indicate that he always started preaching 'iednya with reading Takbeer. "[34]
Jama'ah may choose to follow the sermon festive or not. From 'Abdullah bin As-Sa ib, he said that he had attended Salaah with the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam, when he finished pray, he said,
إنا نخطب فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس ومن أحب أن يذهب فليذهب
"I will now preaching. Who wants to sit still to listen to the sermon, please he sat. Who wants to go, please it goes. "[35]
Day Greetings
Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah explains, "As for congratulations (tah-Niah) when it was festive as some people say to the other when met after Salaah," Taqobbalallahu minna wa wa minkum ahaalallahu 'alaika "and such, then such has been reported by some companions of the Prophet. They used to say such and the priests also provide relief in doing this, as Imam Ahmad and others. However, Imam Ahmad said, "I do not want to precede say happy holidays to anyone. But if there are congratulating me, I will repay ". Imam Ahmad did for answering this kind of greeting is obligatory, while the start to say it is not something that is recommended. And in fact not only that he did not like doing this kind. In essence, anyone who wanted to congratulate him, then he has qudwah (example). And whoever is left, he also has qudwah (example). "
When the day of 'Eed Day fall on Friday
When the day of festive falls on Friday, then the person who has performed Salaah, he had the option of attending Friday prayers or not. But the imam advised to continue to perform the Friday prayers that the people who have the desire to perform the Friday prayer attendance, as well as people who do not Salaah be in attendance. This opinion was chosen by the majority of scholars Hambali. And this opinion is there is a history of 'Umar,' Uthman, 'Ali, Ibn' Umar, Ibn 'Abbas and Ibn Az Zubayr.
The definition of this is:
First: It was narrated from Ibn Abi Iyas Romlah Syamiy ash, he said, "I once accompanied Mu'awiya bin Abi Sufyan, and she asked Zaid bin Arqom,
أشهدت مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم - عيدين اجتمعا فى يوم قال نعم. قال فكيف صنع قال صلى العيد ثم رخص فى الجمعة فقال «من شاء أن يصلى فليصل».
"Have you ever seen the Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam met with two festive (day of Eid ul-Fitr or Eid al-Adha met Friday) in one day?" "Yes", said Zaid. Then Mu'awiyah asked, "What did he do then?" "He implementing Salaah and give relief to leave the Friday prayers," said Zaid again. The Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam said, "Who wants to Friday prayers, then please do so." [36]
Second: From 'Atho', he said, "Ibn Az Zubayr when the day festive which falls on Friday had Salaah with us early in the afternoon. Then when it is time for Friday prayers Ibn Az Zubair did not come out, he was just praying alone. When that Ibn 'Abbas was in Thoif. When Ibn 'Abbas arrived, we were told of the behavior of Ibn Az Zubayr to Ibn' Abbas. Ibn 'Abbas said, "He is the person running the Sunnah (teachings of the Prophet) [ashobas Sunnah]." [37] If a friend says ashobas Sunnah (sunnah run), it means the status marfu' is a saying of the Prophet. [38]
Also narrated that 'Umar ibn al Khottob do like what was done by Ibn Az Zubayr. Similarly, Ibn 'Umar Ibn Az Zubair blame deeds. Similarly, 'Ali ibn Abi Tholib once said that anyone who had done his Salaah then he should not perform the Friday prayers. And there are no known other companions opinion menyelisihi their opinion, they are. [39]

No comments:

Post a Comment